Menangis, Ayu…

Di postingan terdahulu, beberapa bulan yang lalu dan entah ada juga pada tahun sebelumnya kuterbitkan tulisan tentang siswaku yang ‘mutisme’, kini setelah berkurang satu, tinggallah dia sendiri. Ayu. Sebenarnya si anak tidak mutisme dalam arti yang sebenarnya. Dia masih mau kalau disuruh membaca teks bacaan. Suaranya pun masih bisa didengar oleh anak-anak. Boleh dikatakan dia adalah anak yang pendiam, paling pendiam di kelasku. Ada sisi baiknya, dia sosialisasinya dengan teman-teman dekatnya cukup baik. Aku sering memperhatikan dia bermain dengan ketiga teman akrabnya. Kadang di wajahnya  terlihat senyuman saat dia berlari-lari di kelas.

Waktu aku bertemu dengan orang tuanya, mamanya, beliau juga menceritakan tingkah lakunya di rumah. Dari ketiga anaknya, dia termasuk yang paling pendiam. Aktivitasnya kebanyakan di kamar, makan pun di kamar. Kesukaannya adalah membaca buku. Aku tidak menyalahkan kebiasaan membaca yang dilakukannya, tapi aku hanya bertanya-tanya kemana orang tuanya sehingga terjadi hal yang seperti ini. Ya Allah, semoga ketika kita menjadi orang tua kelak, kita bisa membina keluarga dengan sebaik-baiknya.

Sebelum makan siang, ketika doa mau makan, aku melihat dia menangis sambil bersandar di depan mejaku. Suaranya tak terdengar sama sekali. Hanya air mata yang mengalir dan semakin menderas saat kutanyakan penyebab air matanya mengalir. Aku mencoba mengorek keterangan.

“ Kenapa tadi habis kena marah Bunda ya?”

“Apa ada yang ganggu?”

“ Nggak ditemenin sama temen?”

“Diganggu adik kelas?”

Kutatap dahinya

“Pusing ya?”

Kesemuanya dijawab dengan gelengan kepala. Aku belum bisa menemukan jawaban langsung darinya. Alhamdulillah, teman akrabnya sangat perhatian lalu diajaknya makan, dia pun makan. Setelah makan, si anak dan temannya yang sedang mengambil air wudhu, aku bertanya dengan teman akrabnya yang lain.

“ Kalian tahu nggak kenapa dia menangis?’ Kutanya dengan seorang anak, teman akrabnya, yang makan di sampingku.

“ Nggak tahu,Bunda. Kayaknya Al yang tahu,” katanya. Kupanggil Al yang duduknya tidak berjauhan dari mejaku.

“ Al, tadi tahu nggak kenapa Ayu menangis?” Al belum mau berbicara, tak lama kemudian dia mulai berbicara.

“ Gini Bunda, tadi kan Ayu main-main sama Fai, main cubit-cubitan. Ayu yang mulai dulu, lalu Fai bales tapi nggak sakit. Nah, udah itu Ayunya nangis.”

Kupanggil Fai yang masih di dekatku.

“ Fai, bener gitu kejadiannya?” Tanyaku.

“ Iya, Bunda, tapi Ayu yang mulai duluan,” kata Fai tanpa ingin membela lebih jauh.

“ Kalau seperti itu kejadiannya, nanti Al bilangin ke Ayu kalau Fai tadi hanya main-main aja. Fai harus meminta maaf, tapi jangan di dekat teman-teman yang lain. Tegur aja dulu,” aku mengakhiri. Alhamdulillah, ya namanya anak-anak, semuanya kembali seperti semula. Perdamaian. 😀

NB:

Aku ingat masa-masa kecil dulu, aku punya teman yang suka jahil, sering benar mengganggu sampai-sampai aku ke kantor dan mengadu. Aku punya trik jitu kalau diganggu, menangis. Nah, biasanya kalau sudah melihat aku menangis seperti itu, yang kena marah buka aku, tapi orang lain hehehe.

Kalau orang lain menggangguku atau menjahiliku, maka jangan coba-coba, aku balik ganggu, ya paling banter ngadu 😆 .Pada prinsipnya, aku tidak mau diganggu dan tidak mau mengganggu. Kalau ada yang mencoba mematahkan mistarku, maka aku akan balik mematahkan mistarnya. Jika ada yang tidak mau bekerja sama, aku akan mengambil tindakan. Bayangkanlah oleh kalian teman apa yang terjadi denganku dalam komunitas kecilku dulu 🙄 . Mereka tidak mau berteman, tapi itu sih sementara aja. Namanya juga anak-anak, selalu memaafkan dan tidak pernah menjadi beban pikiran. Kini kita sudah dewasa, jika orang lain melakukan sesuatu yang tidak kita sukai (tidak merusak diri dan agama) pada diri kita, apa yang akan kita lakukan ❓ Adakah pilihan di bawah ini :

  1. Menangisi nasib diri.
  2. Diam saja, masa bodo apa yang ingin dilakukan orang, tutup telinga tanpa mencerna apa yang disampaikan. Pasrah menunggu pertolongan datang.
  3. Berusaha bertanya apa yang menyebabkan seseorang itu bertindak seperti itu kepada kita.
  4. Mencoba membesarkan hati, mungkin inilah ketentuan Allah untuk kita sehingga kita bisa meningkatkan derajat kita di sisi Allah.

Tentang Meliana Aryuni

Seorang yang mencoba menciptakan makna hidup dari lika-liku kehidupan melalui tulisan.
Pos ini dipublikasikan di Pernik Sekolah. Tandai permalink.

8 Balasan ke Menangis, Ayu…

  1. didot berkata:

    hapuslah kejahatan dengan kebaikan… tetap baik walaupun apapun sikapnya ke kita. kan mau jadi orang ikhlas mbak mel? ikhlas kan tidak melihat baik kepada siapa,tapi siapapun kita harus baik 🙂

    btw dari ceritanya diatas kok jadi ingat sama tebak2an lama ya : kenapa anak katak jalannya lompat2??

    tau gak mbak mel?? 😀

    Suka

  2. hanyanulis berkata:

    We’ll never know what will happen tomorrow
    Kita hidup hari ini dengan berpikir bahwa akan ada hari esok……
    Kita berpikir ada minggu depan, tahun depan, dan 10 tahun ke depan…..
    Kita sibuk mempersiapkan diri untuk menjadi ini 5 tahun lagi…..
    Menabung untuk membeli itu 2 tahun lagi……
    Mengejar karir di sana dan berharap settled 10 tahun lagi…….

    The truth is: Kita nggak tau kalo kita masih punya hari esok atau nggak.

    Ketika kita kadang nggak peduli sama orang
    tua…..Kita merasa hidup keesokan hari adalah hak kita yg sudah pasti diberikan oleh Tuhan……
    We spent most of our times because we know there will be another day to fix it……

    Suka

    • Meliana Aryuni berkata:

      Kalau pun kiamat tiba, maka berbuat baiklah semampunya. Beribadahlah seolah2 kita akan mati besok dan bekerjalah seolah2 bakal hidup 1ooo tahun….Banyak impian, jdkan waktu luang untuk sesuatu yang baik. The truth: klo ingin hari esok yg baik, mesti dimulai dari yg baik2….

      Suka

  3. darahbiroe berkata:

    tetep semangat ya mbak
    dan syukuri dan ikhlaskan ajah smuanya
    salam

    Suka

  4. Asop berkata:

    Jawaban saya tentu yang poin 4. 🙂

    Suka

Terima kasih atas masukannya, semoga tulisan disini bermanfaat ya :)