Bias Manasik Anak

Seorang anak bilang seperti ini kepadaku :

“Bunda, kata [I] Bunda jahat,” sambil senyum-senyum bersalaman denganku. Aku tersenyum. Kebetulan hari ini aku masuk di kelas [I] dan I…. Aku bahas sebentar mengapa aku mengambil tindakan seperti itu.

“Sekarang Bunda tanya, adakah yang tidak merasa sakit waktu dilempari kerikil ?” Belum sempat menunggu jawaban yang lengkap.

“Ya, sakitlah, Bun. Apalagi ada kerikil yang isinya batu bukan koran.”

” Tapi, itu dilakukan sama kakak kelas juga,Bun,” celetuk yang lain.

“Iya, udah tahu salah masih aja ngikut. Bunda sudah tahu. Kalau yang salah itu jangan diikutin,” kataku.

“Nah, itulah mengapa Bunda menegur [I]. Sebenarnya itu juga untuk [N]. Udah dilihatin berkali-kali, ditegur, kayaknya nggak ngerti-ngerti. Oke, Bunda cari jalan lain. Terus, apa Bunda senang ? Nggak. Tindakan itu dilakukan untuk menyadarkan  [I] bahwa yang dilakukan salah dan ada akibatnya.

” Sakit nggak? ” Kataku sambil mengambil kerikil yang dia ambil dari kantongnya. Dia mengangguk.

” Sudah tahu sakit, kok masih dilakukan sama orang lain sih. Emang [I] mau digituin sama teman ?” Tanyaku. Untuk anak ini, aku harus ekstra….Tidak di kelas, di luar kelas…sama saja.

Ini kisah lain lagi…

Dua orang anak duduk di luar sementara anak yang lain sudah berbaris di aula. Aku dekati dan kutanya mengapa dia tidak masuk. Darinya aku mendapat jawaban ‘Malu.’ Aku jelaskan bahwa buat apa malu, semua orang sama. Memang aku tidak bisa menyamakan si anak dengan pribadi anak yang lain. Anehnya, si anak memang tidak masuk ke aula, eh malah bermain (berlari-lari) di luar aula. Anak-anak yang lain melihat dua anak tersebut berkomentar,” Bunda, boleh kan keluar. Panas, Bun.” Itulah, anak tidak akan rela kalau diperlakukan berbeda.

“Ih, Bunda curang. Dia dibolehin nggak masuk. Kita disini kepanasan,” kata anak yang lain.

” Nggak, Bunda udah menganggap dia nggak hadir. Biarin aja kerikilnya nggak akan Bunda kasih.”

Aku mendekati kedua anak itu.

” Oke, gini, sekarang silahkan pilih, mau duduk sama teman atau nggak Bunda anggap hadir? Nggak liat temannya nanti ikut-ikutan main di luar.  Terus kerikilnya nggak akan Bunda kasihkan. Logika salah satu anak mulai bisa kutebak, dia masuk. Konsekuensinya, dia mendapatkan kerikil. Anak yang satu lagi tetap dengan pendiriannya begitu pun aku tetap dengan pendirianku. Dia tidak boleh memikirkan ‘rasa malunya’ itu sendiri. Dia harus memikirkan ‘rasa malu teman-temannya’.

Ternyata, dia ikut dalam ritual. Setiap ritual dia ikutin. Aku melihatnya, ada wajah sedih dan memelas di matanya. Sebenarnya aku pun sedih, ingin kuberi tuh kerikil, tapi dia harus tahu konsekuensinya dan aku pun harus konsekuen dengan apa yang aku ucapkan. Sampai akhir acara pun dia tetap mengikutinya dan aku merasa senang. Biasanya begitulah cara dia meminta maaf. Setelah makan, kami sudah biasa saja.

” Bunda tadi sebel lho sama [  ]…. Kan udah tahu sifat kalau Bunda bilang ini, Bunda akan lakukan. Itulah konsekuensinya,” kataku. Dia tersenyum, senyum bersalah, aku rasa.

” Bunda, aku tadi jadi syaithannya,” dengan gayanya yang sudah ceria kembali. Aku senang cahaya itu tidak redup.

Sama halnya dengan kucing, jika ada hujan, dia akan bergegas berlari dan menyembunyikan dirinya dari guyuran air hujan karena dia tahu bahwa tubuhnya akan basah. Nah, kalau sudah basah, tuh kucing kan tidak mau (kalau terpaksa atau dipaksa majikannya). Artinya, kisah I dan kucing itu sebenarnya kisah yang sering kita dengar. Anak akan terus melakukan sesuatu sampai dia tahu apa keuntungan/kerugian atas perbuatan yang dilakukannya. Maksudku, akibat perbuatan yang dilakukannya itu lho. Biasanya (bukan hanya anak sih) kita akan memilih tindakan yang beresiko paling minim, betul kan itu ❓

Kita cenderung akan mencari atau melakukan sesuatu yang lebih membuat kita untung, benar ?

Iya, saya yakin itu ! Tidak ada pedagang yang ingin rugi dan hidup ini adalah pedagangan. Setiap pedagang maunya mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan kerugian seminimal mungkin.

Tentang Meliana Aryuni

Seorang yang mencoba menciptakan makna hidup dari lika-liku kehidupan melalui tulisan.
Pos ini dipublikasikan di Artikel Psikologi, Pernik Sekolah. Tandai permalink.

27 Balasan ke Bias Manasik Anak

  1. BENY KADIR berkata:

    ”Ada wajah sedih dan memelas di matanya” dan ”cahaya itu tak redup lagi”.

    Begitu pekanya Ibu Guru membaca bahasa tubuh si anak yg belum tentu semua org bisa peduli dengan hal2 seperti itu.

    Trus berjuang,Bu!

    Suka

  2. sunarnosahlan berkata:

    kadang saya juga pakai strategi yang mirip-mirip, bagi yang mau belajar silahkan masuk, bagi yang tidak di luar saja, anak-anak pasti ada yang nyeletuk: pasti di anggap tidak hadir, maka akhirnya tak ada yang tetap diluar

    Suka

  3. setitikharapan berkata:

    Wah saya salut dengan cara mbak meli mendidik anak. Luar Biasa

    Suka

  4. Bhirawa berkata:

    Begitulah, contoh yg kurang baik kok malah gampang dicontoh ya bu. Tindakan peringatan memang harus diberikan agar anak2 tahu bahwa kelakuannya tidak benar.
    salam hangat dari Surabaya

    Suka

  5. sauskecap berkata:

    yup memang benar, sifat dasar manusia adalah memprioritaskan keuntungan diri sendiri, termasuk saya….

    Suka

  6. bluethunderheart berkata:

    jadi kagum padamu mba
    sukses y
    salam hangat dari blue

    Suka

  7. menembuswaktu berkata:

    bisa jadi peLajaran buat saya nih….

    Suka

  8. Kakaakin berkata:

    Hehe…Ada yang ngaku2 jadi syaiton lagi 🙂
    Kadang didikan orang tua yang tidak konsisten di rumah, menjadikan anak manja ya…

    Suka

  9. fai_cong berkata:

    salam kenal buk…

    Suka

  10. bluethunderheart berkata:

    saatnya u bersemangat ok
    salam hangat dari blue

    p cabar

    Suka

  11. Nanang berkata:

    Mendidik anak memang bukan suatu hal yang mudah, tapi saya suka lupa selalu menganggap enteng dan menyalahkan istri dalam hal mendidik anak. Salam kenal Bu Guru:-)
    nanang´s last blog …Kamus Istilah Blog

    Suka

  12. kakaakin berkata:

    Mel, aku ada tugas untukmu. Sebuah PR. Jika berkenan, tolong dikerjakan ya… :mrgreen:
    Silakan diintip di blogku

    Ikut-ikutan Ngerjain PR


    Thanks ya 🙂

    Suka

  13. sitinuryani berkata:

    wah ibu guru yg bijak….jd pengen masukin anak2 ku ke sekolahannya ibu neh…barakalloh bu…

    Suka

  14. and1k berkata:

    mantep dah caranya

    Suka

Terima kasih atas masukannya, semoga tulisan disini bermanfaat ya :)