Diam, Bukan Tidak Peduli

Image and video hosting by TinyPicIni gambar selalu terlihat di setiap hariku

Memberi efek jera untuk tidak melakukan sesuatu keburukan banyak caranya, mulai dari menghukum sampai mendiamkan. Banyak yang salah mengartikan kata ‘diam’. Diam bukan pengacuhan….

Dalam sebuah hadits, kita dapat mengubah/mencegah perbuatan/ sesuatu dengan tanganmu, lisanmu, kalau tidak mampu lakukan dengan hatimu. Itulah selemah-lemah iman.

Dulu, aku masih ingat, Nitu kucingku  mau mengambil ikan di atas meja. Sebenarnya yang salah adalah yang meletakkan disana dengan keadaan tidak ditutup. Aku sih nggak akan marah kalau dia makan tuh ikan, Nitu sih hanya ikut saraf penciumannya yang sensitif jika ada bau ikan, apalagi ikan panggang. Hmmm…dia paling suka tuh. Baru sebentar dipanggang, Nitu sudah mengeong. Apalagi waktu ikan diangkat, kerjaannya cuma ngikutin bau ikan itu. Ah, dasar Nitu 🙂 . Nah, waktu aku melihat si Nitu hendak melancarkan aksinya, aku pun melancarkan aksiku. Hiat….kuperlihatkan tanganku ke hadapan Nitu sambil berkata,” Pa’….pa’…pa’….Ayo, turun, ntar nggak dikasih makan lagi.”  Belum juga semenit, Nitu sudah nurut. Untuk sikapnya itu, aku langsung beri makan.

Kadang pun, kalau dia suka jahil, aku tunjukan saja telapak tanganku. Nitu sudah bisa memahami kalau aku tidak suka dengan apa yang lakukannya. Dia tidak jadi melakukannya. ^_^

Aku tidak mau menyamakan antara kucing dengan manusia, tapi aku melihat memang ada kesamaan di keduanya. Dalam hal hukuman. Begitu pun manusia, ketika diberi hukuman, baru sadar. Lepas dari hukuman, melakukan lagi perbuatan itu. Begitulah manusia. Maunya ditegur…ditegur…tegur….Sampai kapan harus ditegur seperti itu ?

Sampai sadar ? Kapan sadarnya ?

Kata ‘sadar’ inilah yang menjadi penekanan menyikapi anak-anak di kelas. Jika mereka bertingkah, aku dan patmerku akan kompak berkata, “Ayo, sadar dong !” Tetap sebelum mengatakan hal seperti itu, aku harus mengeluarkan cermahan khasku (hehehe…guru SD itu cerewet kata orang karena inilah tonggak awal mereka berpendidikan).

“Mulai sekarang, Bunda nggak akan  terlalu sering ceramah karena Bunda tahu kalian nggak mau diceramahi terus. Sekarang, Bunda hanya minta kesadarannya. Yang tetap mau mengganggu akhwat, teruslah. Jam 11.30 waktunya makan, nggak usah disuruh-suruh lagi. Cuci tangan, doa bersama, makan. Ambal dan sajadah nggak usah disuruh bentang baru bentang. Sadar sendiri, kalau mau memakai sajadah, silahkan bentang…, ” Itulah isi ceramah dari saya, sebenarnya masih sedikit itu. Masih banyak lagi yang lain, tapi terlalu panjang untuk ditulis. Setidaknya itulah inti yang harus aku sampaikan kepada anak.

Setelah ceramah itu, aku mencoba menerapkan ‘Sadar/ Ayo sadar !’ Semoga kata-kata itu bisa dimengerti oleh siswa-siswaku, khususnya untuk 3 anak yang menurutku ‘spesial’ di kelas. Tinggal kekompakan dengan patnerkulah yang bisa diandalkan.

Karena pernyataan khusus itulah, seorang anak mengungkapkan isi hatinya melalui FB, “Kami sedih didiemin sama Bunda. Kami nggak mau didiemin oleh Bunda.”

Tentang Meliana Aryuni

Seorang yang mencoba menciptakan makna hidup dari lika-liku kehidupan melalui tulisan.
Pos ini dipublikasikan di Artikel Psikologi, Pernik Sekolah. Tandai permalink.

47 Balasan ke Diam, Bukan Tidak Peduli

  1. Hary4n4 berkata:

    Menarik sekali metode yg dipake.. Mengetuk kesadaran seseorang, apalagi bocah..memang gampang2 susah yaa… Salut utk Bunda, semoga anak2 didiknya bisa menjadi orang yg berguna..
    Salam hangat.. Salam damai.. Salam sukses selalu..

    Suka

  2. sauskecap berkata:

    wah terimakasih atas ilmu pelajaran buat mendidik anaknya… menjadi masukkan buat masa depan

    Suka

  3. darahbiroe berkata:

    hehehhe kreatifff banget nuy mbak meli metodenya keren pisan uey

    berkunjung n ditunggu ajah kunjungan baliknya makasih

    Suka

  4. waroengcoffee berkata:

    jadi inget guru sdku dulu 🙂 salam kenal 🙂

    Suka

  5. Kang Sugeng berkata:

    hmmmm… sangat menarik. Jadi gitu ya cara pendekatan ke anak biar sadar?

    Suka

  6. Mamah Aline berkata:

    pantas saja mba, ada pepatah sunda yang bunyinya ngabudi ucing, seperti itulah manusia seperti tingkah kucing diam-diam menghanyutkan jika lengah berbuat salah, jika dihukum gak bakal kapok…

    Suka

  7. Kakaakin berkata:

    Susahnya mendidik ya…
    Diam, ntar dikira nggak peduli, lebih parah lagi bila diam dianggap membolehkan 😦

    Suka

  8. BENY KADIR berkata:

    Menarik sekali metodenya,Bu.
    Terus terang,saya kurang sabar berhadapan dgn anak2 special.
    Ambil jalan pintas ya dihukum saja.
    Di SD saya,saya juga lihat bagaimana sabarnya ibu guru yg mengajar kelas 1 dan 2.
    Saya angkat jempol buat Ibu Mel.
    Selamat bertugas,Bu!

    Suka

    • melianaaryuni berkata:

      Saya juga terus belajar sabar,Pak. Saya juga salut sama guru kelas bawah. Kalau bisa dinasihati, nasihati dulu jangan langsung marah….Bagi anak nasihat kita itu dikesankan dengan kata ‘marah’…. Jempol mana nih,Pak ? Kaki apa tangan hehehe.
      Semangat beraktivitas juga,Pak !

      Suka

  9. zipoer7 berkata:

    Salam Takzim
    Menyingkap pagi, untuk mencari rezeki, sukses untuk sahabat-sahabat ku yang terkasih
    Salam Takzim Batavusqu

    Suka

  10. BENY KADIR berkata:

    Wah,Ibu,pilih saja jempol yg berkenan tapi bukan jempol kaki ya,Bu? hehehe….
    Kalo saya selalu menolak utk jadi wali kelas bawah,Bu.
    Sungguh tdk kan sanggup,apalagi kalo hipertensi kumat,dunia bisa jadi gelap.

    Suka

  11. Ni Hau berkata:

    Wah, mau kunjungi dulu deh. Nanti kena sentil.
    Bagus metodenya, mBah (Pakar Kucing). Itu khan aplikasi dari teori Pavlov (Pavanya Lov). Metode pembiasaan pada hewan bisa sebagian diterapkan pada man usia. Sip dah…
    Saya mau belajar lagi nih sama Pakar Miau…
    Thanks juga atas kunjungannya. N jangan kapuok.

    Suka

  12. nashrilabdillah berkata:

    assalaamu’alaikum
    ternyata gitu ya dunia ‘perguruan’
    mantab jaya..
    kucingku juga ku gituan langsung tau mbak (disodorin telapak tangan),.apa emang kucing itu juga punya sedikit akal ya?

    Suka

  13. Oyen berkata:

    yah, kita harus bisa mengatur kebiasaan kita, bukan kebiasaan yang mengatur kita

    ayo, sadarlah mbak..he..he

    salam kenal dari Oyen

    Suka

  14. ch0c0 berkata:

    wah kreatif banget ceritannya tuh….

    unurnya pun sampek kepada pembacanya

    sukses terus untuk cahabat2 ku

    Suka

  15. adelays berkata:

    Nitu aja bisa mengerti , masa kita yang manusia lambat memahami yach…

    Belajar dari kisah Nitu, malu kalau manusia kalah cerdik dari Nitu.

    Suka

  16. Kotak Mainan berkata:

    Diam bisa menjadi alternatif hukuman apabila sekian kali mengingatkan tetap tidak diindahkan.

    Suka

  17. alfarolamablawa berkata:

    wah keren….hehehehe
    Maaf baru bisa berkunjung
    semoga pintu maaf belum tertutup.

    Suka

  18. darahbiroe berkata:

    diam itu emas :-p

    berkunjung disink hari mbakk

    tengkyu

    Suka

  19. ocekojiro berkata:

    Jadi inget si Joy kucingku…
    Memang kalo makanannya masih sama dengan kita, maka, naik meja makan adalah sebuah kewajaran bahkan kita tdk bisa meleng jika ada lauk yang tdk tertutup.
    Tetapi jika kita biasakan diberi makanan kemasan, maka ada ikan bakar tergeletak pun sang kucing tak beranjak, karena memang sudah tidak doyan.
    So… aman buat kita dan sehat buat Nitu/Joy
    Wass

    Suka

  20. andry sianipar berkata:

    Salam super-
    Salam hangat dari pulau Bali-
    menarik sekali artikel nya…

    sukses untuk Anda…
    semangat ya…

    Suka

  21. Rafi berkata:

    Wew…Menarik sekali Artikelnya. Hmm….bikin Saya jadi merenung 🙂

    Suka

  22. BlogCamp berkata:

    Kalau masih anak2 agak sulit diminta kesadarannya, harus di suruh dan diberitahu. Namun sekali-kali diberi kesempatan untuk sadar diri namun tetap dalam pengawasan
    Salam hangat dari Surabaya

    Suka

  23. sunflo berkata:

    iya mell. kadang aq juga menerapkan metode kek gini sewaktu ngajar dulu…^^

    Suka

Terima kasih atas masukannya, semoga tulisan disini bermanfaat ya :)